Rabu, 21 September 2011

Lokalisasi Moroseneng: Lebih Baik dari Jarak, Alternatif Wisata Seks setelah Dolly




MOROSENENG:Suasana di Moroseneng saat siang hari.

Free Hit Counter

Lokalisasi Sememi atau yang lebih dikenal Moroseneng merupakan lokasi favorit kedua setelah Dolly. Meski berada di kawasan pinggiran dan dekat perbatasan kota, namun tak menyurutkan niat lelaki hidung belang bertandang ke sana. Di akhir pekan, jumlah pengunjung di sana bisa mencapai ribuan. Ada yang sekadar minum-minum dan menikmati ‘pemandangan’, namun tak sedikit yang menjajal ‘barang’ yang konon kualitasnya setara dengan Dolly.
‘Moro’ dalam makna harfiah adalah datang, dan ‘Seneng’ adalah senang. Itulah janji yang ditawarkan pengusaha bisnis esek-esek di sana kepada pria hidung belang; Anda datang maka akan senang. Bagi mereka yang hobi berwisata seks mungkin janji itu tidak berlebihan. PSK-PSK yang ditawarkan di sini memang kualitasnya lebih baik ketimbang lokalisasi lain di Surabaya—selain Dolly--,tentunya. Usia yang masih muda, penampilan menggoda dengan tarif yang relatif lebih murah pasti membuat pria-pria iseng tergoda.
Salah satu PSK di sana adalah Rianti (27). Gadis asal Lamongan ini merupakan salah satu primadona di sana. Dalam sehari, ia mengaku mampu melayani antara 3-5 tamu dengan tarif Rp 75 ribu- Rp 100 ribu per jam.
“Kalau malam minggu bisa lebih dari biasanya. Itu nanti dikurangi setoran Rp 30 ribu untuk mami,” katanya singkat.
Meski tahu bahwa apa yang dilakoninya ini termasuk pekerjaan hina, namun ia merasa tak ada beban. Dia pun masih belum berpikir untuk hengkang dari lokalisasi ini meski sudah berada di sana sejak 5 tahun silam. “Sik ngelumpukno bondo mas,” katanya.
Cita-citanya sederhana yaitu ingin membuka wisma. Alasannya, apalagi kalau bukan karena ingin mendapat keuntungan besar dengan cara instan. “Saiki kerjo opo sing hasile isok podho ambek penggaweanku saiki. Nek onok sing podho, pasti aku leren,” katanya seraya tertawa lepas.
Ada lagi PSK bernama Siska (29) yang mengaku berasal dari Ponorogo. Di usianya yang hampir menginjak kepala 3 ini ia mengaku belum memunyai cukup tabungan untuk membuka usaha. Dia pun siap-siap menghadapi hukum alam di mana yang tua harus tersingkir oleh yang muda. Kini ia mencari-cari informasi untuk pindah ke lokalisasi Klakah Rejo yang berada tak jauh dari Moro Seneng.
“Siap-siap pindah mas. Kapene leren duwik yo sik durung gableg. Nek wis sugih ae aku leren,” katanya tanpa malu-malu.
Di belakang bangunan wisma yang berderet di sepanjang Jalan Moro Seneng juga terdapat lokalisasi Sememi. Karena lokasinya menyatu dengan Moro Seneng namun dari kualitas barang ada sedikit perbedaan. Di lokalisasi Sememi Gang I dan II, PSK yang sudah berumur di atas 30 tahun berbaur dengan PSK yang masih belia. “Orang tahunya Moro Seneng. Padahal ada perbedaan antara Sememi dengan Moro Seneng. Kalau Moro Seneng itu yang ada di wisma-wisma pinggir jalan, dan Sememi masuk gang,” kata Ahmad Haerun, Ketua RW setempat.
Jumlah PSK dan wisma di lokalisasi ini tergolang stabil. Sejak dulu, menurut Haerun, jumlah wismanya tak lebih dari 25 dan jumlah PSK-nya paling banyak 130 orang. Namun ia memprediksi tahun ini akan terjadi pengurangan. Sebab, hingga kemarin baru 50 PSK yang kembali setelah libur lebaran. “Nggak tahu ke mana mereka. Mungkin ada yang tobat dan mungkin pula ada yang milih freelance,” katanya.
Meski tak ada penambahan wisma dan PSK namun jangan dikira kompetisi di sini tak terjadi. Wisma-wisma yang ada di Moro Seneng dan Sememi berlomba-lomba merenovasi bangunan agar lebih menarik plus fasilitas tambahan lainnya. Bahkan ada salah satu wisma yang juga membangun parkir mobil khusus bagi pelanggannya. Tujuannya, apalagi jika bukan untuk memberi jaminan privasi. “Lokasinya kan di pinggir jalan besar. Kalau diparkir di depan wisma dan ketemu istri atau keluarganya bagaimana?,” ujar Mona, salah satu mami PSK sembari tertawa lepas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar