Rabu, 21 September 2011

Lokalisasi Kremil: Tahu Diri, Tak Marah Dibayar Seikhlasnya



SEPI: Ini suasana Kremil saat siang hari. Terlihat sepi meski ada beberapa PSK yang sudah mejeng. Tuh di dekat gapura ada salah satu PSK yang mejeng sambil asyik nelpon.


Free Hit Counter

Lokalisasi prostitusi Tambakasri ini juga disebut sebagai lokalisasi Kremil. Ini merupakan satu di antara 6 lokalisasi prostitusi di Surabaya yang masih eksis. Lokalisasi yang terletak di wilayah Kecamatan Krembangan, itu juga dikenal sebagai lokalisasi untuk warga kelas menengah-bawah. Maklum saja, tarif PSK di lokalisasi dengan jumlah PSK terbesar kedua setelah lokalisasi Jarak (versi Dinsos) ini memang relatif murah meriah. Cukup mengeluarkan uang antara Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu, syahwat pun terpuaskan.

Siang itu, Tutik (55) terlihat serius membersihkan halaman rumahnya yang berdebu. Ia pun semangat membersihkan kaca bening berukuran 2 x 3 meter yang terbungkus tembok depan rumahnya. Tutik adalah satu di antara sekian banyak mami PSK di lokalisasi yang juga biasa disebut Kremil itu. Tak ada papan nama di depan wisma yang sekaligus ia jadikan tempat tinggalnya. Yang membedakan rumah miliknya dengan rumah tangga biasa adalah di atas pintu masuk terdapat plat seng bertuliskan ‘Anggota TNI Dilarang Masuk.’
Tutik tergolong wajah lama di Tambakasri. Sudah sejak umur 20 tahun dia ‘terjebak’ di sini. “Kebujuk wong lanang,” katanya singkat.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, ia mengaku tak tahu apa-apa. Maklum, saat itu ia hanya gadis desa biasa yang mencoba mengadu untung di Surabaya. “Tahu-tahu diajak ke sini disuruh kerja di warung dan jualan bir. Lama-lama kok keterusan dan (maaf) jadi lonte,” katanya.
Tahun 1981, ia naik kelas menjadi germo sekaligus pemilik wisma bermodal uang tabungan selama jadi PSK. Wisma miliknya berukuran 6 X 10 meter, dengan dinding terbuat dari triplek. Ada 6 sekat ruang yang 5 di antaranya ia fungsikan sebagai kamar anak buahnya. Di teras rumah terdapat meja besar dan etalase sederhana yang ia gunakan berjalan nasi dan minuman ringan. “Meski elek, sing penting iso gawe ndelek duwek gawe nyambung urip,” katanya.
Meski begitu Tutik masih beruntung. Banyak rekan-rekan seusianya yang hingga kini masih menjajakan diri. Karena sudah kewut (baca:tuwek), tentu saja penghasilan yang mereka terima tak menentu. Memang, di Tambakasri dikenal sebagai lokalisasi khusus PSK kewut. Kalaupun ada yang ‘muda’ itupun berusia di atas 30 tahun. “Yang di bawah 30 tahun bisa dihitung dengan jari. Yang banyak di atas 40 tahun dan 50 tahun juga banyak,” kata Tutik.
Sri (35), salah satu PSK asal Madiun merupakan primadona wisma Tutik. Meski menjadi primadona jangan dibayangkan jika Sri bergelimang harta. Dalam sehari ia maksimal hanya mengantongi uang Rp 50 ribu dari hasil menjual diri. “Saya tidak memasang tarif mas. Hanya berharap kerelaan tamu saja. Dikasih berapapun saya terima. Namun pasarannya memang antara Rp 25 ribu – Rp 50 ribu,” kata Sri.
Menurutnya, lokalisasi Tambakasri semakin meredup. Saking sepinya, terkadang ia terpaksa mulai ‘praktek’ sejak siang bolong. “Mungkin aja ada yang mampir,” katanya.
Meski dianggap sepi, namun PSK yang masih bertahan di sana cukup banyak. Data tahun 2007 yang dilansir Dinas Sosial menyebutkan, jumlah PSK di Tambakasri mencapai 1.600 orang. Jumlah ini terbesar kedua setelah lokalisasi Jarak yang berisi 2.543 PSK. “Banyak yang seharusnya pensiun tapi tetap kerja. Makanya jadi yang terbanyak,” ujar Tutik dengan tawa lepas.
Namun data ini dibantah Sekretaris RW setempat, Agus Purnomo. Dari data yang ia miliki, jumlah PSK saat ini sebanyak 435 orang dan tersebar di 143 wisma. Setiap PSK-PSK itu dikenai retribusi atau yang menurutnya uang kontrol sebesar Rp 5 ribu. Hasil yang terkumpul digunakan untuk biaya operasional RW dan petugas keamanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar