Rabu, 21 September 2011

Lokalisasi Klakahrejo: Tempat Terpencil, Kualitas ‘Barang’ Bikin Mata Mecicil




GEMUK YA: Inilah salah satu model PSK di lokalisasi Klakahrejo. Memang sih terlihat gemuk, tapi --menurut germonya--wajahnya mirip Nafa Urbach.


Free Hit Counter


Surabaya benar-benar dikepung dengan lokalisasi prostitusi. Di bagian barat, sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Surabaya, terdapat kompleks pelacuran di Desa Klakah Rejo, Kecamatan Benowo. Lokalisasi ini berada tak jauh dengan lokalisasi Moroseneng di Sememi yang terkenal itu. Meski berada di kawasan pinggiran dan perbatasan kota, namun kedua lokalisasi ini lebih baik ketimbang lokalisasi Dupak Bangunsari dan Tambakasri. Karena itu, kawasan ini biasa dikunjungi hidung belang kelas menengah yang memburu kenikmatan sesaat.
Namanya memang kalah popular dengan Moroseneng. Namun bagi lelaki hidung belang, ini merupakan salah satu lokalisasi favorit. Letaknya yang terpencil plus ‘barang’ yang relatif muda, sungguh menjadi magnet tersendiri. Memang, jika kurang teliti mengamati wilayah ini sulit membedakan mana yang rumah tangga biasa dan mana yang rumah yang dijadikan wisma PSK. “Karena itu enak njajan nang kene. Nek ketemon dulur, ngomong ae dolen nang konco,” ujar Adi—bukan nama sebenarnya--, salah satu pelanggan lokalisasi ini.
Wisma PSK di Klakah Rejo dipusatkan di Gang Barokah yang berada di wilayah RW II, Kelurahan Klakah Rejo, Kecamatan Benowo.
Di lokalisasi ini, sedikitnya terdapat 47 wisma dengan 167 PSK yang berusia antara 20-30 tahun dengan tarif antara Rp 50 ribu – Rp 100 ribu.
Namun beberapa tahun terakhir pamor lokalisasi ini meredup. Ini terlihat dari jumlah PSK dan wisma yang semakin berkurang.
Ketua RW II, Kuswadi mengatakan, pihaknya tak tahu pasti mengapa terjadi penurunan. Yang jelas, tahun lalu di lokalisasi ini sedikitnya masih ada 200 PSK yang menjajakan diri di 50 wisma yang ada.
“Mungkin saja merasa modal sudah cukup dan membuka usaha di kampung halamannya. Sekarang saja banyak yang masih belum pulang setelah libur lebaran,” katanya.
Pernyataan Kuswadi itu dibenarkan Titin (27), PSK Wisma Flamboyan.
Menurutnya, banyak rekan-rekannya sesama PSK yang mentas setelah merasa mengantongi cukup uang untuk membuka usaha. Gadis jebolan SMP ini pun mengaku akan melakukan hal serupa jika uang yang ia kumpulkan dari hasil menjual diri sejak lima tahun silam, itu cukup untuk membuka usaha.
Saat ini, ia sudah memiliki sebuah toko yang menjual kebutuhan rumah tangga di kampung halamannya di Blitar. “Alhamdulillah mas punya took. Sekarang lagi ngumpulin uang untuk membuka usaha lain,” katanya.
Menurutnya, menjadi seorang PSK merupakan pilihan terakhir setelah sebelumnya ia mencoba pekerjaan lain. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya, ia bekerja di sebuah warung makan. Menganggap beban kerja yang tak sesuai dengan uang yang didapat, Titin akhirnya keluar. “Pertama kerja di warung aku dibayar Rp 280 ribu sebulan. Dapat apa dengan uang segitu. Padahal, setiap bulan aku harus mengirim uang ke kampung untuk emak,” katanya.
Dia pun tergiur dengan tawaran seorang teman lelakinya yang menawarkan pekerjaan dengan penghasilan lima kali lipat. “Saya langsung tertarik dan mau saja diajak ke Moroseneng,” katanya.
Tak satupun keluarga dan rekannya di kampung yang tahu profesinya sebenarnya. Dia menutup rapat-rapat pekerjaan yang dianggapnya hina ini. Bahkan suaminya yang kini berada di Malaysia sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pun tak tahu pekerjaan yang dilakoninya saat ini. “Suamiku tahunya aku kerja di Surabaya. Itu saja,” katanya.
Di lokalisasi ini ada banyak Titin-Titin lainnya. Mereka ada yang memang sejak awal berniat menjadi PSK, namun ada juga yang terpaksa karena kadung kebujuk. Ada yang sudah remaja, namun tak sedikit yang benar-benar masih belia.
Awal bulan Juli tahun ini, Polwiltabes Surabaya bahkan berhasil mengungkap penjualan
dua gadis di bawah umur yang melibatkan seorang sekretaris desa di Kecamatan Pasrepan, Kabupaten Pasuruan.
Modusnya, sekdes berinisial BD ini membantu memalsukan KTP dua gadis bernama Desi dan Ratna (keduanya nama samaran). Usia Desi diubah dari 16 tahun menjadi 22 tahun, dan usia Ratna diubah dari 17 tahun menjadi 23 tahun. Sebelumnya, kedua gadis itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar